Meninjau Ulang Urgensi Perda Syariah di Era Otonomi Kesatuan Perspektif Maqashid Al-Syariah

Blog Single

Edisi kedua diskusi konsorsium dosen fakultas syariah membahas tema "Meninjau Ulang Urgensi Perda Syariah di Era Otonomi Kesatuan Perspektif Maqashid Al-Syariah" disajikan oleh Muhaimin, MHI. Formalisasi syariat Islam di tingkat konstitusi negara dapat dikatakan menemui jalan buntu. Namun ternyata perjuangan formalisasi syariat tidaklah berhenti. Hanya saja bergeser ke wilayah lokal dengan memanfaatkan “celah” UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Era otonomi daerah telah memicu munculnya perda-perda bernuansa syariat Islam. Dari sinilah persoalan mulai mengemuka. Perda syariat Islam memicu problematika yang cukup tajam dari sisi ketatanegaraan. Pasalnya, status perda adalah sebuah produk hukum yang posisinya jauh di bawah konstitusi negara. Sementara semangat konstitusi jelas-jelas menolak formalisasi syariat Islam. Dari sisi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sendiri, terbitnya perda syariat Islam justru telah menabraknya. Masalah agama menjadi otoritas pemerintah pusat, bukan kewenangan pemerintah daerah. Otonomi daerah perlu dipahami sebagai kebebasan untuk melaksanakan aturan yang sudah ada, bukan kebebasan untuk menetapkan undang-undang sendiri.

Menurut analisanya ada beberapa problem yang menyertai munculnya Perda Syari’ah antara lain; (1). Problem efektifitas, apakah perda syariah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat? apakah benar sarat dengan nilai-nilai islami?   (2). Problem diskriminasi, seperti masih memunculkan bias gender atau adanya kelompok mayoritas maupun minoritas baru. (3). Problem kualitas, sebagian perda yang ada merupakan copy paste dari daerah lain, oleh karenanya perda kurang aspiratif dan tidak menyentuh pada local wisdom  (4). Problem implementasi, pelaksanaan perda melahirkan kesulitan baru, dibeberapa daerah mengharuskan adanya polisi syariah.

Sebagai solusi alternatif dari problematika tersebut penyaji diskusi menawarkan cara pandang baru dalam memformulasikan kembali maqasid syariah, yaitu pergeseran paradigma (shifting-paradigm) dan pengembangan maqasid melalui pendekatan sistem (a system approach). Cara pandang baru ini menghasilkan lima prinsip dasar, yaitu: (1) berubahnya makna al-kulliyyat al-khams dalam cakupan yang sangat luas dan kontekstual dengan problematika kontemporer. Menjaga agama (hifz al-din), tidak lagi dimaknai agar tidak murtad, melainkan  menghormati kebebasan beragama atau berkepercayaan. Menjaga keturunan (hifz al-nasl) diperluas menjadi kepedulian yang lebih terhadap institusi Keluarga. Menjaga akal (hifz al-aql) bermakna mengembangkan pola pikir dan research ilmiah, mencari ilmu pengetahuan dan menekankan pola pikir yang sehat. Menjaga kehormatan (hifz al-irdh) sama dengan melindungi martabat kemanusiaan; melindungi hak-hak asasi manusia. Menjaga harta (hifz al-mal), mengutamakan kepedulian sosial, pembangunan, pengembangan ekonomi, kesejahteraan sosial.

 

 

Share this Post1:

Galeri Photo